POLITIK & HUKUM


ARTIKEL HUKUM PIDANA                                           
inosuhartono.blogspot.com

ANTI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA DAN KELEMAHAN DALAM IMPLEMENTASINYA (SUATU TINJAUAN AWAL)

Dikirim/ditulis pada 28 August 2007 Oleh: Yenti Garnasih

1. Pendahuluan.
Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003 diamdemen dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari memuaskan.

Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF). [1] Desakan internasional pertama kali dikakukan pada Juni 2001  dan setelah melalui beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF[2] akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF. Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak “diawasi”karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia termasuk peratutan perundangan yang mendukung penegakannya.

Bila dipahami bahwa semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak. Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak) sebut saja dari korupsi, kejahatan perbankan, illegal logging, penyelundupan dan lain-lain.

Semua kejahatan tersebut seharusnya diajukan ke pengadilan dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara uang hasil kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang. Seharusnya dipahami bahwa kriminalisasi pencucian uang suatu strategi untuk memberantas berbagai kejahatan ekonomi bukan saja melalui upaya penerapan hukum terhadap kejahatan asal tersebut tetapi juga menghadang hasil aliran hasil kejahatan dengan ketentuan anti pencucian tersebut.  Maka dapat dikatakan bahwa penerapan ketentuan anti pencucian uang bertujuan tidak saja menangkap pelakunya tetapi juga menelusuri hasil kejahatan dan kemudian merampasnya.

Melihat masih sedikitnya kasus pencucian uang yang sampai pada putusan, atau begitu banyaknya kasus kejahatan ekonomi yang tidak dikaitkan dengan tuntutan pencucian uang, menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi factor penyebabnya. Keadaan ini  bukan mustahil Indonesia dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam upaya pemberantasan pencucian, dan akan berakibat pada penilaian yang tidak menguntungkan bagi Indonesia di mata internasional, terutama oleh FATF. Untuk itu nampaknya harus dikaji lebih mendalam tentang faktor apa saja yang menjadi kendala sehingga penegakan hukum terhadap pencucian uang begitu lemah.

Pengakajian ini harus diawali dengan memahami kembali latar belakang dan tujuan dilakukannya kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang, baik secara global maupun untuk kepentingan nasional, kemudian disinergikan dengan kualitas perundangan, kesiapan aparat penegak hukum dan sikap masyarakat atas upaya pemberantasan pencucian uang. 

2. Mengapa praktik pencucian uang harus diberantas dan bagaimana strategi pemberantasannya.

Untuk melihat faktor yang menyebabkan belum optimalnya penegakan hukum terhadap ketentuan anti pencucian uang di Indonesia, perlu melihat kembali pemahaman untuk apa dilakukan kriminalisasi pencucian uang atau mengapa praktik pencucian uang harus diberantas.

Terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia membuat anti pencucian uang pada walnya karena desakan Internasional bukan karena kesadaran pentingnya pemberantasan pencucian  bagi Indonesia,[3] praktik pencucian uang adalah suatu jalan bagi para pelaku kejahatan ekonomi untuk dengan leluasa dapat menikmati dan memanfaatkan hasil kejahatannya. Selain itu uang (hasil kejahatan) merupakan nadi bagi kejahatan terorganisasi (organized crimes) dalam mengembangkan jaringan kejahatan mereka, maka penghalangan agar pelaku dapat menikmati hasil kejahatan menjadi sangat penting.[4]

Kejahatan teroganisasi yang paling berbahaya dan sangat berkepentingan untuk mencuci hasil kejahatan mereka pada awalnya hanya kejahatan perdagangan illegal narkotika dan subsatansi psichotropika. Maka kriminalisasi pencucian uang semula hanya dirahkan untuk memberantas perdagangan narkotika dan sejenisnya seperti yang tercantum dalam United Nation Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 (The Vienna Convention).

Pemikiran tentang berbahayanya praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, sebetulnya diawali dengan kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenisnya. Sebenarnya di sinilah merupakan awal ispirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai secara international.

Namun sebenarnya istilah money laundering dalam artian hukum digunakan pertama kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan tentang penyitaan atas hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh warga Columbia.[5] Kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat Money Laundering dan bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit. Selanjutnya pencucian uang semakin berkembang dan bukan hanya yang berasal dari kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai kejahatan termasuk kejahatan terorganisasi (organized crimes).

Dalam kaitannya bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana dibidang ekonomi (economic crimes), yang pada intinya memberikan gambaran terdapat hubungan langsung bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.[7] Selain itu mempertimbangkan pula adanya fenomena bahwa kejahatan pencucian uang bukan permasalahan nasional semata tetapi berdimensi regional maupun internasional (transnasional), sehingga sangat penting untuk ditempatkan pada suatu sentral pengaturan.

[8] Hampir semua kejahatan ekonomi dilakukan dengan motivasi mendapatkan keuntungan, maka salah satu cara untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana yaitu dengan memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak dapat menikmatinya dan akhirnya diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga sirna:

“…this was ineffective and thus asset forfeiture was viewed as the key to combating such crime. If the criminal is prevented from enjoying the fruits of his labor than these motivations for committing a crime that also disappears.).[9]

Berkembangnya modus dalam praktik pencucian uang serta meningkatnya jumlah uang yang diproses illegal ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dalam segala aspek kehidupan. Globalisasi tidak saja memacu aktifitas ekonomi transnasional secara sah, tetapi juga memicu aktifitas ekonomi yang ilegal. Munculnya jaringan informasi, komunikasi, transportasi dan financial intermediation global, tidak saja mengijinkan para pelaku bisnis untuk mengadopsi berbagai aspek organisasi dan operasionalisasi managemen internasional, tetapi secara negatif digunakan pula oleh para pelaku kejahatan.[10]

Pelaku kejahatan mengeksploitasi globalisasi ekonomi sedemikian rupa dengan memanfaatkan kemajuan sistem informasi, teknologi dan komunikasi yang digunakan lembaga keuangan untuk transfer uang dengan cepat dan mudah serta hampir tidak meninggalkan jejak sama sekali. Muncullah apa yang dinamakan megabyte money dalam bentuk simbul pada layar komputer (computer screen), yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan dapat dipindahkan lagi dari waktu ke waktu agar tidak dapat dipantau oleh petugas penegak hukum.

Hal ini memunculkan terjadinya dinamika perputaran keuangan dalam dunia maya (cyber), uang tidak lagi dapat diraba tetapi hanya dapat dilihat dalam bentuk data. Keterlibatan dan penggunaan high technology dalam dunia maya oleh para pelaku pencucian uang inilah yang memunculkan fenomena cyberlaundering yang sangat berbahaya karena sulitnya untuk dilacak.

Alasan mengapa pencucian uang harus diberantas antara lain dari aspek kerugian yang ditimbulkan dan dampaknya pada perkembangan organized crimes. Selain itu pada United Nations Congress on The Prevention of Crime and Treatmen of Offenders, Cairo 1995, jelas ditegaskan bahwa terdapat 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai dan pencucian uang dikatagorikan sebagai yang paling berbahaya.

Selain itu ditengarai adanya aliran dana sindikat kejahatan yang mempengaruhi perkembangan perbankan dan pasar modal internasional dalam satu dekade terakhir sehingga mendorong untuk dilakukannya kebijakan internasional dalam pemberantasan pencucian uang. Kejahatan ini merupakan kejahatan keuangan yang bersifat lintas batas yang seringkali menggunakan teknologi tinggi yang mutakir dan dampaknya sangat merugikan keuangan nasional maupun global. Bagi pelaku, praktik pencucian uang dipandang sebagai suatu aktifitas ekonomi ilegal dan sangat menguntungkan[11] serta hanya melibatkan orang tertentu dan transaksi tertentu yang biasanya tidak meninggalkan bukti fisik serta tidak menimbulkan korban individu.[12]

Pada akhirnya ditangkap suatu makna bahwa tidak mudah untuk memberantas kejahatan pencucian uang, karena ciri dari kejahatan ini yang sulit dilacak (untraceable crime), tidak ada bukti tertulis (paperless crime), tidak kasat mata (discernible crimes) selain itu dilakukan dengan cara yang rumit (inticrate crimes), karena didukung oleh teknologi yang canggih yang pada akhirnya menjadikan kejahatan pencucian uang bersifat sophisticated crimes.

[13] Kesulitan pemberantasan akan semakin meningkat manakala kejahatan pencucian uang berubah sifatnya sebagai cyber crimes (cyber laundering) dengan menggunakan offshore banking (crimes).



Tidak ada komentar: